Chapter 1423 - ROTMHS INDO

Chapter 1423. Apakah ini Keluarga Tang Sichuan? (3)

Tang Wei dan anggota keluarga Tang lainnya segera memahami mengapa api yang tak bisa dipadamkan itu muncul, serta siapa yang telah melakukan perbuatan ini.

Di mata semua orang, berbagai kecurigaan muncul, dengan cepat berubah menjadi kebencian.

“Mengapa…”

Suara Tang Wei yang bergetar memotong suara kayu yang terbakar di tengah kobaran api.

“Mengapa kau melakukan ini? Tetua Sinsu… Kenapa?”

Jika ada orang lain di dalam keluarga Tang yang melakukan perbuatan seperti ini, mereka pasti sudah dibunuh dengan belati terbang menancap di tubuh mereka sebelum ada yang mempertanyakan alasannya.

Tapi kali ini berbeda.

Di hadapan mereka berdiri Sinsu Tang Jopyeong. Meskipun pikirannya sering kali diliputi kabut akibat usianya yang lanjut, dia tetaplah tetua tertua dalam keluarga Tang serta kepala bengkel, jantung dari keluarga mereka.

Di hadapannya, tidak ada satu pun anggota keluarga Tang yang berani mengangkat suara, bahkan Tang Wei, yang merupakan mantan Kepala Tetua, sekaligus Tetua Agung sekalipun.

“Mengapa? Mengapa kau melakukan ini?”

Tang Wei bertanya dengan putus asa, tetapi Tang Jopyeong hanya menatapnya dengan pandangan malas. Tatapan penuh amarah dan ketulusan Tang Wei bertemu dengan tatapan kosong Tang Jopyeong di udara.

Akhirnya, Tang Jopyeong berbicara.

“….Aku hanya membakarnya.”

Hening.

Tang Wei menggigit bibirnya hingga berdarah.

“Siapa yang tidak tahu itu sekarang! Apa kau benar-benar tidak tahu apa yang telah kau bakar? Mengapa kau membakar Aula Matahari dan bengkel yang berisi semua warisan Keluarga Tang, bahkan menggunakan Darah Tungku Putih!”

“….”

“Mengapa! Mengapa! Mengapa kau melakukan ini! Bahkan jika pikiranmu tidak jernih, bukankah kau masih Sinsu Tang Jopyeong! Kenapa!”

Suara Tang Wei seakan bercampur darah, dipenuhi kesedihan dan keputusasaan. Keluarga Tang, segalanya yang ia lindungi, kini terbakar di hadapannya. Rasanya seperti air mata merah akan segera mengalir dari matanya.

Namun, ekspresi Tang Jopyeong tetap sedingin es. Tidak ada yang bisa menebak apa yang ada di dalam pikirannya.

“Sinsu Tang Jopyeong, sebenarnya apa yang kau…”

Alih-alih Tang Wei, para tetua lain hendak mengatakan sesuatu, tetapi suara Tang Jopyeong yang tenang mengalir, seolah menyegel bibir mereka.

“Itu tidak ada di sini.”

“…Apa?”

“Itu sudah hilang sekarang. Segala sesuatu yang telah kalian perjuangkan untuk lindungi, yang ingin kalian pertahankan.”

“….”

“Jadi pergi. Yang tersisa hanyalah reruntuhan yang akan menjadi abu.”

Para tetua menoleh, menatap kobaran api dengan perasaan putus asa.

Kata-kata Tang Jopyeong tidak salah.

Apa yang mereka coba lindungi di sini adalah kebanggaan keluarga Tang—fasilitas yang mampu memproduksi racun, eliksir, dan senjata yang terkenal di seluruh dunia.

Namun kini, dengan semuanya hancur menjadi puing, tidak ada lagi alasan untuk mempertahankan tempat ini.

Alasan mereka untuk melawan Aliansi Tiran Jahat, bahkan dengan mengorbankan nyawa mereka, telah lenyap.

“Apa… apa yang kalian semua lakukan?”

Tang Wei berteriak frustasi.

“Padamkan! Aku bilang, padamkan api itu sekarang juga!”

“T-Tetua.... Agung.”

“Mengapa kalian hanya berdiri di sana! Jika kalian tidak bisa memadamkan api, setidaknya selamatkan barang-barang di dalamnya! Cepat! Bergeraklah!”

Tang Wei berteriak putus asa, tetapi tidak ada yang bergerak.

Meskipun api yang menyala adalah hasil dari Darah Tungku Putih, bukan berarti mustahil untuk memadamkannya. Jika itu benar-benar mustahil, maka Darah Tungku Putih sudah lama dikenal di dunia sebagai senjata terkuat.

Namun, meskipun bisa dipadamkan, itu akan sangat sulit. Memadamkan kobaran api sebesar ini akan membutuhkan upaya luar biasa, bahkan jika semua orang di sana berusaha melakukannya.

Jelas bahwa pada saat itu, tidak akan ada yang tersisa. Meskipun mereka berhasil menyelamatkan tungku dan racun yang masih bertahan, tetap tidak mungkin untuk membangun kembali keluarga Tang hanya dengan itu.

Tang Wei tahu betul akan hal ini. Namun, dia tidak bisa menyerah begitu saja.

Ketika para tetua tetap diam, Tang Wei, dengan gigi yang terkatup rapat, berteriak.

“Minggir! Aku akan melakukannya sendiri…”

Tetapi saat itu, Tang Jopyeong berbicara.

“…Apakah itu yang seharusnya kau lakukan?”

Tang Wei tersentak, tubuhnya gemetar saat dia menatap Tang Jopyeong.

“Kau… apakah kau masih waras…”

Sesaat, dia berpikir bahwa Tang Jopyeong telah kehilangan akal sehatnya hingga melakukan hal ini. Namun, tidak peduli bagaimana dia melihatnya, Tang Jopyeong tampak sepenuhnya sadar.

“…Jadi… apakah kau merasa lega sekarang?” -geram Tang Wei

Suara Tang Wei pecah seperti pedang yang diasah, dipenuhi kesedihan dan amarah.

“Setelah berabad-abad melindungi warisan kita, apakah ini yang membuatmu puas? Mengubah segala sesuatu yang telah dilindungi leluhur menjadi abu? Apakah kau merasa lega sekarang karena nama ‘Keluarga Tang Sichuan’ akan lenyap dari dunia? Apakah kau senang memberi sisa anggota keluarga kita, yang kehilangan kehormatan dan keahlian mereka, hanya sedikit kesempatan untuk bertahan hidup?” -marah Tang Wei

“Tang-…”

“Itu!”

Tangan Tang Wei gemetar hebat saat dia menunjuk bengkel.

“Semua yang telah kau dedikasikan hidupmu untuk itu kini menjadi puing-puing! Apakah kau bahagia sekarang? Itu yang kutanyakan! Baik itu kau, Tetua Sinsu, atau aku, begitu kita tiada, kita tiada! Tetapi karena keputusan sepihakmu, anak-anak kita yang tersisa akan hidup dalam penderitaan!”

Bertahan hidup di Kangho berarti membawa banyak dendam, tidak ada bedanya dengan hidup di bawah bayang-bayang kekuatan keluarga Tang. Jelas bahwa mereka yang dulunya takut pada keluarga Tang akan menunjukkan kebencian mereka setelah keluarga kehilangan kekuasaannya.

Sekarang, Tang Jopyeong telah mendorong keturunan keluarga ini ke dalam jerat kebencian itu.

“Bagaimana kau bisa begitu acuh tak acuh! Bagaimana kau bisa begitu kejam! Apakah ini benar-benar demi keluarga Tang? Jika kau benar-benar tetua tertua keluarga Tang, kau seharusnya melakukan apa pun untuk melindunginya! Kenapa kau tidak bisa mengerti itu!”

Bayangan kesuraman melintas di wajah semua orang mendengar kata-kata Tang Wei yang pahit.

Meskipun kata-katanya dilontarkan dalam ledakan emosi, tanpa etika maupun ketertiban, perasaan yang ia ungkapkan adalah sesuatu yang dapat dipahami oleh semua orang di sana.

“Mengapa kau melakukan hal seperti ini…”

“Di sini.”

“…Apa?”

Tang Jopyeong perlahan menyapu pandangannya ke sekeliling. Pemandangan kediaman keluarga Tang, tempat dia menghabiskan seluruh hidupnya, terhampar di matanya. Tidak ada satu sudut pun, bahkan satu bagian lantai pun, yang belum pernah disentuhnya.

Keluarga Tang adalah segalanya baginya. Tang Jopyeong tidak berbeda dari Tang Wei dalam hal itu. Namun…

“Apakah ini Keluarga Tang Sichuan?”

Tang Wei menggigit bibirnya. Omong kosong apa ini sekarang? Apakah pikirannya benar-benar telah hilang?

“Jawab aku.”

“Tetua!”

“Aku bertanya, apakah ini Keluarga Tang Sichuan!”

Saat itu, sebuah raungan kasar meledak dari mulut Tang Jopyeong. Kemarahan yang meluap dalam suaranya tidak terbayangkan, membuat Tang Wei gemetar sesaat. Racun memenuhi matanya.

“Mereka ini hanya benda mati! Paling banter hanya paviliun! Paling banter hanya gumpalan racun! Paling banter hanya besi yang ditempa menjadi senjata menyedihkan!”

“Tetua?”

“Apakah ini yang disebut Keluarga Tang Sichuan? Apakah itu benar-benar Keluarga Tang? Jawab aku!”

“….”

“Tanpa racun, itu bukan Keluarga Tang! Tanpa senjata tersembunyi, itu bukan Keluarga Tang, begitu? Bodoh sekali kalian yang tak tahu mana yang lebih penting!”

Saat itu juga, Tang Jopyeong dengan kasar melemparkan palu yang selama ini ada di tangannya.

Thunk!

Palu kecil itu menghantam tanah, memantul sekali sebelum akhirnya jatuh kembali.

Saat suara itu mereda, halaman menjadi sunyi seketika. Berapa banyak benda yang telah ditempa oleh palu kecil itu? Itu bukan hanya kebanggaan Tang Jopyeong, tetapi juga kebanggaan keluarga Tang.

Namun kini, Tang Jopyeong telah membuangnya begitu saja.

“Apakah kita harus mempertaruhkan nyawa demi menjaga bongkahan besi?”

“Tetua!”

“Asalkan masih ada orang!”

Amarah Tang Jopyeong meledak. Tubuh renta lelaki tua itu seolah memancarkan nyala api, seperti tungku kecil yang menyemburkan bara merah menyala.

“Selama masih ada orang, kita bisa menciptakan semuanya kembali! Selama masih ada orang!”

“….”

“Bahkan jika kita tak akan pernah mencapai kejayaan yang sama lagi, lalu apa masalahnya? Jika kita harus mengorbankan semua orang hanya untuk menjaga Keluarga Tang tetap seperti sekarang, maka lebih baik keluarga Tang lenyap sekalian!”

“Ini…”

Tubuh Tang Wei bergetar hebat. Amarah dan keterkejutannya begitu kuat hingga Tang Byeok, yang berdiri di dekatnya, secara naluriah menggenggam lengannya, khawatir Tang Wei akan menyerang Tang Jopyeong.

Tang Jopyeong, yang menatap tajam ke arah Tang Wei, perlahan mengedarkan pandangannya ke sekeliling sebelum akhirnya berbicara.

“Tinggalkan tempat ini.”

“….”

“Tak ada lagi yang bisa kalian lindungi di sini. Satu-satunya hal yang tersisa untuk kalian pertahankan hanyalah hidup kalian sendiri.”

“Tetua…”

“Jadi pergilah. Waktunya mendesak. Pergilah sebelum musuh datang.”

Setelah mengatakan itu, Tang Jopyeong berbalik, namun Tang Wei menjerit putus asa ke arah punggungnya yang semakin menjauh.

“Apakah kau pikir bisa menghadapi para leluhur setelah mati? Apa yang akan mereka katakan padamu! Kau akan dikenang dalam sejarah Keluarga Tang sebagai pendosa terbesar yang pernah ada! Tidak, setiap keturunan keluarga Tang yang masih hidup akan meludahi makammu dan mengutuk namamu! Tetua Sinsu! Tidak—Tang Jopyeong!”

Tanpa berkata apa-apa, Tang Jopyeong terus melangkah menuju bengkel yang masih terbakar hebat.

‘Semua orang meludah dan mengutukku…’

Senyum tipis terukir di wajahnya, samar dalam bayangan api.

‘Itu pun masih lebih baik.’

Setidaknya, jika masih ada yang mengutuknya, itu berarti masih ada keturunan keluarga Tang yang tersisa. Itu saja yang ingin ia lindungi sejak awal.

“Tetua…”

Di saat itu, para pengrajin yang sejak tadi mengamati dari kejauhan mulai mendekat. Tidak seperti sebelumnya, kini ada jarak dan keraguan di tatapan mereka. Tang Jopyeong menatap mereka sekilas sebelum berbicara.

“Kalian juga harus pergi.”

“Lalu bagaimana dengan Anda, Tetua?”

Tang Jopyeong melirik bengkel yang sedang berubah menjadi abu akibat api yang ia nyalakan sendiri.

“Aku akan tetap di sini.”

Mendengar jawaban itu, para pengrajin tampak ingin mengatakan sesuatu, namun akhirnya hanya menggelengkan kepala. Itu wajar—melarikan diri dari Aliansi Tiran Jahat akan menjadi perjalanan yang sangat sulit. Tang Jopyeong tak lagi memiliki tenaga untuk melakukan perjalanan sejauh itu.

“…Tolong jaga diri Anda baik-baik.”

Para pengrajin membungkuk dalam-dalam ke arah Tang Jopyeong. Meski mereka tak sepenuhnya setuju dengan tindakannya, mereka tetap menunjukkan rasa hormat yang tulus. Itu adalah penghormatan terakhir mereka kepada kepala bengkel yang telah melindungi keluarga selama berabad lamanya.

Tanpa berkata apa-apa, Tang Jopyeong menerima penghormatan itu, lalu berjalan menuju bengkel yang terbakar. Api semakin berkobar, melalap segalanya lebih ganas dari sebelumnya.

Itulah rumahnya selama lebih dari satu abad, tempat di mana ia hidup dan berjuang melindungi segalanya.

‘Kakek Amzon…’ [dark saint]

Matanya mulai kabur, dipenuhi air mata yang tertahan. Ia merasa bangga telah mempertahankan keinginan kakeknya, tetapi pada saat yang sama, juga merasa pedih karena telah menghancurkan semuanya dengan tangannya sendiri.

‘Apakah ini pilihan yang benar?’

Mungkin, seperti yang dikatakan Tang Wei, ia telah membunuh jiwa keluarga Tang. Mungkin, mereka akan selamanya hanya menjadi sisa-sisa keluarga Tang, hidup dalam bayang-bayang tanpa jati diri.

Apakah ini keputusan yang benar? Apakah benar-benar tak ada jalan lain? Apakah ini pilihan terbaik?

Ia tak tahu. Mungkin ia tak akan pernah tahu, bahkan hingga ajal menjemputnya.

Namun, ada satu hal yang bisa ia yakini.

‘Kakek.’

Ingatan itu muncul begitu jelas. Sentuhan lembut tangan Tang Bo saat mengacak rambut cucunya yang masih kecil. Tangan itu begitu hangat dan menenangkan.

Jika Tang Bo ada di sini sekarang, ia pasti akan mengacak rambutnya lagi dan tersenyum, seperti dulu.

— Kerja bagus.

Setetes air mata mengalir di pipi keriput Tang Jopyeong.

Kini, sebagai seorang lelaki tua berambut putih, ia tersenyum cerah—sama seperti hari dimana ia masih seorang anak kecil.

Next Chapter

  

Kalau ada yang mau donasi, bisa ke trakteer ya! Disana juga update chapternya udah lumayan jauh, menuju 1500+

Trakteer

Comments