Chapter 1426 - ROTMHS INDO
Chapter 1426.
Jadi, apakah belati terbang ini sebuah kegagalan? (1) ❀
❀ ❀
Palu yang
tak kenal ampun terus menghantam besi di atas landasan tanpa henti, seolah-olah
sama sekali tidak peduli dengan kejadian yang berlangsung di sekitarnya.
Clang!
Setiap kali
palu kecil itu menghantam, percikan api melesat ke segala arah dari besi yang
membara.
Untuk waktu
yang lama, Tang Jopyeong terus memalu, hingga akhirnya ia meneliti besi yang
dipegang dengan penjepitnya dengan tatapan mendalam, lalu dengan cepat
mendorongnya kembali ke dalam tungku yang menyala.
Wajahnya,
yang diterangi oleh nyala api yang melahap besi itu, tampak berkedip-kedip
dalam sinar kobaran api.
Melihat ini,
Jang Ilso, yang diam-diam mengamati Tang Jopyeong, akhirnya berbicara, bibir merahnya
perlahan terbuka.
“Pak Tua.”
Suara itu
membawa aura dingin.
“Ke mana
perginya orang-orang Keluarga Tang yang lain?”
Suara itu
begitu kuat, tak seorang pun bisa mengabaikannya, seperti ular berbisa yang
melilit mangsanya, tak memberi ruang untuk tetap tenang.
Namun, meski
suara Jang Ilso terdengar menyeramkan, Tang Jopyeong tidak menunjukkan reaksi
apa pun, seolah benar-benar tuli, tatapannya tetap tertuju pada tungku.
Pandangan
Jang Ilso berubah tajam, tetapi sebelum ia bisa bertindak, pandai besi itu
dengan santai mengeluarkan besi yang telah dipanaskan dan mulai memalunya lagi.
Clang!
Clang!
Dengan
setiap hantaman palu, suatu kekuatan yang tak bisa dijelaskan terpancar dari
besi itu.
“Hmm.”
Jang Ilso
terkekeh dengan nada tertarik, mengamati Tang Jopyeong dengan minat.
“Sudah lama
sejak aku diperlakukan dengan begitu tidak hormat.”
Dalam
sekejap, wajah para Anjing Merah yang berjaga di sekelilingnya kehilangan
warna. Mereka yang telah lama mengawal Jang Ilso lebih dari siapa pun tahu
bahwa di balik nada bicara yang lambat itu tersembunyi kemarahan yang bengkok.
Salah satu
Anjing Merah buru-buru melangkah maju.
“Pak tua
ini…”
“Minggir.”
Jang Ilso
memotong dingin, menghalangi langkah mereka. Anjing Merah yang hendak maju
terpaksa mundur dengan enggan.
Langkah demi
langkah, Jang Ilso mendekati Tang Jopyeong. Berdiri dalam jangkauan lengannya,
ia menatap lelaki tua yang tampak seakan bisa runtuh kapan saja.
Tatapan itu
transparan, tanpa emosi.
Jelas—ini
hanya buang-buang waktu.
Apa pun yang
sedang dilakukan lelaki tua itu, tidak ada artinya. Jang Ilso bisa dengan mudah
membunuhnya dalam sekejap, lalu mengejar musuh-musuh yang melarikan diri. Ia
tahu itu lebih baik dari siapa pun. Namun, alasan Jang Ilso berhenti di sini
hanyalah karena rasa penasaran. Ya, hanya itu.
“Apa yang
sedang kau buat?”
Ia bertanya
lagi, tetapi tetap tak ada jawaban.
Jang Ilso
menyeringai. Aura membunuh yang jelas terpancar di balik matanya yang indah
melengkung.
Namun saat
itu, dari bibir Tang Jopyeong yang tak bergerak, terdengar suara lirih.
“Sebuah
belati terbang.”
“Hmm?”
“Aku sedang
membuat belati terbang.”
Jawaban Tang
Jopyeong lebih seperti gumaman daripada balasan. Jang Ilso sedikit mengernyit.
…Belati…
Dalam situasi seperti ini?
Clang!
Tang
Jopyeong kembali menghantam palu. Cahaya jahat yang dalam berkedip di mata Jang
Ilso saat ia terpaku menatap pemandangan itu.
“Apa yang
kau abdikan sepanjang hidupmu… telah hancur.”
Suara itu
bergema, sarat dengan nada mengejek.
“Segala yang
kau curahkan hatimu telah menjadi abu. Namun, tidak ada hal lain yang bisa
dilakukan. Jadi, bahkan di akhir kehidupan, seseorang tetap mengulangi hal yang
sama.”
Bibir Jang
Ilso melengkung.
“Jika ini
adalah kehidupan seorang pengrajin… betapa menyedihkannya, sangat menyedihkan.”
Clang!
Suara palu
Tang Jopyeong semakin keras. Senyuman Jang Ilso melebar sedikit. Suara besi
yang didorong ke dalam tungku kembali terdengar.
“Bagaimana
menurutmu?”
“….”
“Kau pikir
pedang yang luar biasa akan lahir?”
Itu bukan
sekadar pertanyaan sederhana—itu adalah pedang yang menusuk ke dalam jiwa.
“Adakah
pedang yang cukup agung untuk menebus akhir yang menyedihkan itu? Bisakah
kehidupan yang penuh penderitaan menemukan maknanya di dalamnya?”
“….”
“Kenyataan
itu kejam. Kisah tentang pedang agung yang ditempa dengan jiwa seorang master
di saat-saat terakhirnya hanyalah omong kosong. Dalam kenyataan, itu hanya
menempa besi yang meleleh dengan buruk, menghasilkan rongsokan yang tak
berharga.”
Dengan
tatapan yang sulit diartikan, Tang Jopyeong mengangkat palu, mengeluarkan
belati dari tungku, dan meletakkannya di atas landasan.
Jang Ilso
bertanya.
“Bagaimana
rasanya? Apakah kau merasa segala yang kau miliki telah disangkal? Tetap
berpegang teguh pada usaha yang sia-sia.”
Ini membuat
perutnya terasa mual. Mereka yang telah kehilangan segalanya sering kali
bertingkah seolah-olah telah mencapai pencerahan di saat-saat terakhir mereka.
Jujur saja, dia tidak pernah menginginkan hal semacam itu.
Dia telah
menyaksikan banyak orang bodoh bertingkah seolah-olah telah mendapatkan
kebebasan di saat-saat terakhir mereka. Setiap kali, Jang Ilso merasa mual.
Lebih baik
mereka yang menangis dan menjerit. Mereka jujur. Mereka yang berpegang teguh
pada kehidupan, memohon belas kasihan sambil mencakar tanah, mereka murni.
Dibandingkan dengan pecundang yang memberikan makna palsu pada hal-hal yang tak
berarti, berpura-pura tidak pernah menginginkan apa yang sebenarnya mereka
dambakan.
“Jawab aku.
Apakah belati itu layak menjadi hal terakhir dalam hidupmu? Kehidupan yang
begitu sepele…”
Suara yang
seakan menggenggam jiwa, menggigitnya.
“Kau
benar-benar perlu berpegang teguh padanya? Huh?”
Di balik
lengan bajunya yang lebar, tangan Jang Ilso berkedut. Dia tampaknya tidak
berniat hanya mengancam dengan kata-kata.
Namun, Tang
Jopyeong, yang tahu bahwa Jang Ilso bisa mengakhiri hidupnya kapan saja, tetap
acuh tak acuh terhadap hidupnya sendiri, hanya meneliti besi panas di
tangannya.
Clang!
Tang
Jopyeong kembali menghantam palu. Percikan merah terus berhamburan, menyerupai
jiwa seorang lelaki tua yang tersebar di udara.
Besi di atas
landasan perlahan-lahan membentuk belati terbang, dan Tang Jopyeong dengan
hati-hati memeriksanya sebelum mendorongnya kembali ke dalam tungku.
Tang
Jopyeong perlahan menoleh dan menatap Jang Ilso. Tatapan dingin lelaki tua itu
bertemu dengan kilatan tajam di mata Jang Ilso, bertautan di udara.
Jang Ilso
tak bisa menahan diri untuk tidak merasakan sedikit ketidaknyamanan. Dia hendak
mengangkat tangannya, tetapi Tang Jopyeong berbicara.
“Memilih
besi paling murni di antara begitu banyak batangan besi.”
“….”
“Melelehkannya
dalam tungku yang sangat panas.”
Clang!
Sekali lagi,
palu Tang Jopyeong menghantam belati.
“Menempa dan
menempa lagi, ratusan, ribuan kali.”
Clang!
“Sampai ia
mencapai bentuk dan kekuatan yang sempurna. Ditekuk, dipatahkan, dan dipelintir
berkali-kali…”
Clang!
Setelah
memberikan hantaman kuat, Tang Jopyeong memasukkan belati ke dalam ember air di
dekatnya.
Ssshhh!
“Dicelupkan
ke dalam air kotor.”
Uap yang
naik membubung dengan ganas dari air yang menyelimuti belati yang masih panas.
“Hanya
setelah diasah dan dikikis habis-habisan hingga saat terakhir, barulah.... ia
menjadi pedang terkenal.”
Untuk
sesaat, tatapan Jang Ilso menjadi anehnya tenang.
Suara Tang
Jopyeong membawa resonansi yang aneh. Ada beban di dalamnya, sesuatu yang
bahkan Jang Ilso tak bisa abaikan begitu saja.
“Aku telah
melakukan hal seperti ini sepanjang hidupku. Menciptakan pedang yang lebih
kuat, lebih tajam, lebih luar biasa. Membuat senjata yang luar biasa. Dan jika
mereka tidak memenuhi standar walau sedikit saja, aku menghancurkannya dan
meleburkannya kembali.”
Tang
Jopyeong mengangkat belati terbang dari ember ke atas landasan.
Warnanya
kusam, permukaannya tidak rata. Bahkan sebelum dipoles, benda itu jauh dari sebutan
pedang terkenal.
Dibuat dari
tungku kecil yang sudah aus dan tangan yang melemah karena usia, namun ini
adalah pedang terakhir yang ditempa oleh pandai besi dari Keluarga Tang di
akhir hidupnya. Tapi rupanya begitu menyedihkan, sampai sulit mempercayai fakta
itu.
Tang Jopyeong
dengan saksama mengamati belati yang malang itu, seolah-olah itu bisa menjadi
pedang tak tertandingi yang tak akan pernah terlihat lagi seumur hidupnya.
Clang!
Tang
Jopyeong menggenggam belati yang masih panas dengan tangannya.
Ssshhh!
Darah
menetes dari daging yang robek, mengotori belati itu. Namun lelaki tua itu,
seolah tak merasakan sakit, hanya menatap belati itu dan berkata.
“Jadi,
apakah belati terbang ini sebuah kegagalan?”
Tang
Jopyeong perlahan menurunkan palu.
Meninggalkan
belati yang masih butuh ditempa berkali-kali lagi. Meninggalkan belati yang
tampak cacat dan tidak berarti.
Namun, tidak
ada sedikit pun penyesalan di tangannya saat ia menurunkan palu.
Ia memutar
belati itu perlahan di tangannya, memeriksa setiap sudut dengan tatapan tenang,
lalu mengangguk pelan.
Kemudian, ia
mengulurkan belati terbang yang dipegangnya—kepada Jang Ilso.
Keheningan
menyelimuti. Jang Ilso hendak berbicara, tetapi suara Tang Jopyeong yang dingin
mendahuluinya.
“Ambillah.”
Sejenak,
ekspresi bingung muncul di wajah Jang Ilso. Ia bergantian menatap belati yang
diulurkan dan Tang Jopyeong, alisnya berkerut samar.
“….Apa
maksudnya ini?”
Meskipun
lelaki tua itu berada di ambang kematian, selama ia masih membawa nama Keluarga
Tang, tidak ada yang bisa meremehkan siapa yang berdiri di hadapannya.
Namun,
lelaki tua ini justru mengulurkan belati terakhir dalam hidupnya kepada Jang
Ilso. Tidak mungkin ia mencoba menyelamatkan nyawanya dengan cara ini.
Seolah
menjawab pertanyaan Jang Ilso, Tang Jopyeong berbicara.
“Besi tidak
memiliki pemilik tetap. Siapa yang menggenggamnya, dialah pemiliknya. Kebetulan
kau yang ada di sini sekarang.”
Jang Ilso
menatap belati kasar dan tidak rata itu seolah itu adalah sesuatu yang konyol.
“….Tapi
bukankah belati ini bisa ditikamkan ke leher seseorang dari Keluarga Tang?”
Bahkan
dengan ucapan itu, Tang Jopyeong tidak menarik kembali belati yang
ditawarkannya.
Ia hanya
menatap Jang Ilso, diam dan tak bergerak.
Tiba-tiba,
ekspresi Jang Ilso menjadi datar. Setelah beberapa saat hening, Jang Ilso
perlahan mengulurkan tangan dan meraih belati terbang itu.
Sshh.
Sisa panas
berpindah ke tangannya. Darah Tang Jopyeong yang mengering di permukaan belati
itu menodai tangannya dengan warna merah gelap.
Menatap
belati yang tidak sempurna itu dengan saksama, Jang Ilso mengangkat kepalanya,
menggenggamnya erat, bersiap mengakhiri hidup Tang Jopyeong dengan satu
tebasan.
Tapi…
“Pak tua
ini…”
Wajah Jang
Ilso berubah.
Kepala Tang
Jopyeong tertunduk. Di saat itu, napas lelaki tua itu telah berhenti sendiri.
Menyedihkan.
Palu yang
hanya diturunkan di saat-saat terakhir, tubuh yang sudah renta dan bengkok,
bahkan tungku tua yang usang di hadapannya—semuanya tampak menyedihkan.
Namun, ada
sedikit senyuman di bibir Tang Jopyeong. Bahkan Jang Ilso tidak bisa
menertawakannya.
Saat tubuh
Tang Jopyeong perlahan mendingin seperti api yang meredup di tungku, Jang Ilso,
yang diam mengamati sang pandai besi terakhir Keluarga Tang yang telah pergi
dalam kesunyian, berbalik, jubahnya berkibar.
“Sungguh buang-buang
waktu.”
Suaranya
yang dingin bergema.
“Tidak ada
siapa-siapa di sini. Kejar mereka. Mereka tak mungkin pergi jauh.” -pertintah
Jang Ilso
“Ya,
Ryeonju!”
Para anggota
Myriad Man House dan Anjing Merah yang sejak tadi menahan napas segera
berpencar ke segala arah. Tak lama lagi, mereka pasti akan menemukan jejak
orang-orang yang melarikan diri.
Tap.
Jang Ilso,
yang hendak pergi tanpa ragu, tiba-tiba berhenti ketika sebuah suara menyentuh
telinganya.
Itu suara
tungku yang masih menyala. Tatapan aneh berkilat di matanya.
“…Hmph.”
Thud!
Tangan Jang
Ilso menghantam ke bawah. Dengan kekuatan yang dilepaskannya, seluruh bengkel
runtuh dalam sekejap, mengubur tubuh Tang Jopyeong di bawahnya.
Bruuk!
Menatap
dingin ke arah bengkel yang telah runtuh, Jang Ilso dengan kasar menyelipkan
belati yang dipegangnya ke dalam pakaiannya.
“Aku benci
berhutang.”
Meninggalkan
kata-kata yang tak akan didengar siapa pun, ia berbalik dan berjalan pergi.
Bengkel itu
kini benar-benar hancur.
Di atas reruntuhan yang kini kehilangan makna dan ditinggalkan semua orang, terdapat sebuah palu kecil yang mencuat miring—seakan menjadi batu nisan bagi seseorang yang akhirnya menemukan kedamaiannya.
❀ ❀ ❀
Kalau ada yang mau donasi, bisa ke trakteer ya! Disana juga update chapternya udah lumayan jauh, menuju 1500+
- Trakteer
Comments
Post a Comment