Chapter 1407 - ROTMHS INDO
Chapter 1407.
Sudah waktunya untuk bangun dari mimpi ini. (2)
❀ ❀ ❀
Bulu matanya
yang panjang bergetar sedikit.
Setelah
beberapa saat, getaran itu mereda, dan matanya, yang sebelumnya tertutup rapat,
perlahan terbuka.
Mata itu
tampak samar, seolah-olah tidak mampu menangkap apa pun, namun pada saat yang
sama teguh menolak apa pun yang mereka lihat. Mata aneh itu seolah mampu
menarik siapa saja hanya dengan menatapnya.
Mata itu
tertuju pada langit-langit.
Ia dapat
melihat langit-langit kereta yang sangat mewah, dihiasi dengan harta karun
berharga yang bahkan sulit untuk sekadar dilihat seumur hidup.
Sutra yang
menjuntai melintasi langit-langit bagaikan ombak adalah sutra Cheonjam [천잠사(天蠶絲)] terbaik. Kemewahan yang bahkan
emas pun tidak dapat menandinginya. [note: sutra yang dibuat dari ulat sutra yang
sangat langka.]
Sutra itu
dihiasi dengan permata berharga, masing-masing dipotong dan ditempatkan dengan
cermat, sementara batu mata kucing yang tersebar di antaranya begitu langka
hingga hanya satu saja sudah cukup untuk membeli tanah yang luas.
Tapi itu
bukanlah segalanya.
Meja teh
kecil yang berada dalam jangkauan tangan dibuat dari kayu cendana terbaik yang
pantas untuk raja. Bahkan cangkir kecil yang diletakkan di atasnya adalah
sebuah mahakarya, diukir dengan sangat teliti dari satu bongkahan giok oleh
pengrajin terampil.
Ke mana pun
ia melihat, apa pun yang ia sentuh atau kenakan, semuanya dipenuhi dengan
kemewahan.
Namun, di
mata pria yang memiliki segalanya itu, tidak ada sedikit pun keinginan atau
kebanggaan.
Mata yang
menatap benda-benda yang tak ternilai harganya itu hanya menunjukkan kebosanan
dan kehampaan.
Apakah
benda-benda itu benar-benar memiliki nilai yang begitu besar? Ataukah nilainya
hanya sebatas angka yang melekat padanya?
Sebuah
senyum tipis terbentuk di bibir merah pria itu.
“Seolah-olah…”
Konyol.
Sutra, pada
akhirnya, hanyalah kain yang sedikit lebih padat dan lebih rapi. Apa bedanya
sutra dengan kain murah yang digunakan sebagai lapisan bantalan?
Lalu
bagaimana dengan permata-permata berharga itu? Mereka tak ada bedanya dengan
kerikil di pinggir jalan, hanya bongkahan batu yang sedikit lebih berkilau.
Dan kayu
cendana, yang dianggap terlalu berharga untuk digunakan oleh siapa pun selain
kaisar atau raja? Itu tidak lebih dari sekadar kayu dengan warna yang sedikit
berbeda, sama sekali tidak pantas diperlakukan dengan begitu hati-hati.
Apakah
binatang membedakan antara permata dan kerikil? Apakah mereka peduli dengan
perbedaan antara jerami untuk sarang mereka dan sutra? Apakah mereka
memperhatikan warna saat memanjat pohon?
Tidak,
mereka tidak peduli.
Memberikan
nilai pada hal-hal yang tak berarti, lalu dengan buta percaya pada nilai yang
mereka buat sendiri, adalah sifat khas manusia.
Mereka
memberi nilai pada kepemilikan, kehormatan, kebajikan, keyakinan, hubungan,
cita-cita… begitu banyak hal yang tak terhitung jumlahnya, begitu banyak hal
yang sepele.
“Fufufu.”
Tawa pelan
terdengar.
Pada
akhirnya, nilai hanyalah sesuatu yang dengan mudah manusia sematkan pada
benda-benda, sesuatu yang bisa dibuang kapan saja.
Namun
manusia lupa bahwa merekalah yang menciptakan nilai itu sendiri, lalu mereka
terikat padanya, bahkan rela mempertaruhkan nyawa mereka yang paling berharga
untuk itu.
Pria itu
meraih botol yang terletak di meja dan perlahan memiringkannya. Cairan berwarna
amber mengalir ke dalam cangkir giok.
“Betapa
bodohnya… betapa tololnya.”
Ia tertawa
kecil membayangkan ngengat yang dengan buta menerjang api, menganggap
pengorbanan dirinya demi sesuatu yang tak berharga sebagai tindakan yang mulia.
Jadi,
bagaimana mungkin seseorang tidak tertawa? Ketika dunia ini hanyalah sebuah
komedi besar yang dipenuhi dengan tragedi yang absurd.
Sambil
mengangkat gelasnya, ia menikmati aroma kaya yang melayang di udara.
Bayangannya tampak samar di permukaan cairan amber itu.
Ia tertawa
terbahak-bahak saat melihat dirinya sendiri, berbalut logam mahal, tertutup
riasan yang berlebihan, dan dibungkus sutra merah serta putih.
Jang Ilso
mengejek segalanya, tetapi yang paling ia ejek adalah dirinya sendiri.
Sementara
banyak orang di luar kereta ini mengejar apa yang mereka yakini sebagai nilai
diri mereka, Jang Ilso mengetahui betapa sia-sianya semua itu, namun ia menolak
melepaskan apa pun.
Tanpa
menyadari perbedaan antara sutra murah dan sutra berkualitas tinggi, ia
membalut tubuhnya dengan sutra paling mewah. Mengetahui bahwa apakah itu anggur
murah atau anggur mahal, begitu mengalir ke dalam perut, semuanya tidak ada
bedanya.
“Fufufufufu.”
Jang Ilso
mengosongkan cangkirnya dalam satu tegukan.
Jika
mempertaruhkan nyawa demi hal-hal tak berharga dan berpegang teguh pada sesuatu
yang tak berarti adalah syarat untuk menjadi manusia, maka Jang Ilso adalah
manusia yang paling sempurna.
Pandangan
matanya beralih ke jendela kecil berbentuk persegi.
Mereka
berkumpul, masing-masing membawa cita-cita mereka sendiri.
Ada yang
mencari keadilan, ada yang mengejar kekuasaan, ada yang mengutamakan kesetiaan,
dan ada pula yang mendambakan kedamaian.
Orang-orang
dengan tujuan berbeda semuanya berkumpul di satu tempat. Hasrat yang tebal,
masing-masing unik dan mencekik, akan berputar dan bercampur hingga terasa
sulit bernapas.
Bibir Jang
Ilso, semerah darah, bergerak.
“Sudah
waktunya… untuk bersiap menghadapi apa yang akan datang.”
Akan ada
badai.
Di atas papan
catur yang ia ciptakan. Shaolin, 10 Sekte Besar, Gunung Hua, Aliansi Teman
Surgawi, dan bahkan Aliansi Tiran Jahat.
Yang akan
binasa dalam badai ganas ini bukan hanya manusia atau nyawa. Itu juga akan
menghancurkan cita-cita seseorang. Itu akan menghapus ilusi sia-sia yang mereka
yakini layak untuk dikejar.
Bagi mereka
yang mabuk dalam cita-cita mereka, dunia akan tampak begitu manis. Seperti
ngengat yang tak menyadari bahwa sayapnya terbakar dalam api.
Tapi
sekarang…
“Sudah
waktunya untuk bangun dari mimpi ini.”
Senyum cerah
menghiasi bibir Jang Ilso.
Segera,
dunia akan dilukis dengan darah.
❀ ❀ ❀
“Huuuuh…
Huuuuuh…”
Tak ada lagi
keringat yang menetes. Wajahnya yang pucat, tanpa sedikit pun warna,
menunjukkan kondisi Geum Yangbaek yang semakin memburuk.
Namun
kakinya tidak berhenti sedetik pun. Ia akan terus berlari sampai napasnya
benar-benar habis.
Hyun Jong,
yang sesekali melirik kondisi Geum Yangbaek, dengan halus berbicara kepada Tang
Gunak.
“Tuan Tang…”
“Itu
sia-sia.”
Namun Tang
Gunak, seolah sudah tahu apa yang akan dikatakan Hyun Jong, menggeleng tanpa
belas kasihan sebelum Hyun Jong sempat mengutarakan kata-katanya.
“Dantiannya
hancur, dan aliran tenaga dalamnya berbalik. Bahkan dengan teknik Keluarga
Tang, tidak ada cara untuk menyelamatkannya.”
“…Bukankah Keluarga
Tang yang menyelamatkan Chung Myung, bahkan ketika dia hampir mati?”
“Pemimpin
Aliansi, aku sangat memahami kesedihanmu… tapi kami bukan pencipta keajaiban.
Ada hal-hal yang bisa kami lakukan, dan ada hal-hal yang tidak bisa.”
“…Hmm.”
Hyun Jong
mendengarkan, tetapi pemahamannya tidak datang begitu saja.
Hal itu
wajar, mengingat luka yang terlihat di tubuh Chung Myung jauh lebih parah.
Namun Chung Myung bisa diselamatkan, sementara Geum Yangbaek tampaknya sudah
tidak memiliki harapan.
Namun, Hyun
Jong tidak mengatakan apa-apa lagi. Dalam hal pengobatan, ia bukanlah seorang
ahli, sedangkan Tang Gunak adalah salah satu tokoh paling terkenal di dunia.
Apakah pantas mempertanyakan ucapannya tentang masalah medis?
Saat menoleh
ke Tang Soso dengan secercah harapan, ia hanya menemukan gadis itu
menggelengkan kepalanya.
Saat Hyun
Jong menghela napas pelan, Geum Yangbaek, yang dengan susah payah terus berlari
di belakang mereka, tiba-tiba terhuyung dan memuntahkan darah.
“Pemimpin
Sekte!”
Para murid
yang terkejut segera bergegas mendekatinya, tetapi ia langsung melambaikan
tangan, menyuruh mereka menjauh, dan membuka matanya lebar-lebar.
“Teruskan!
Jangan pikirkan aku, terus berlari, cepat!”
Wajah para
murid Hainan menjadi pucat. Namun menentang perintah keras dari Pemimpin Sekte
bukanlah pilihan. Pada akhirnya, mereka menggertakkan gigi dan kembali berlari.
Saat itu,
Gwak Hwanso mendekati Geum Yangbaek.
“Pemimpin
Sekte, biarkan aku membawamu!”
Namun Geum
Yangbaek dengan keras kepala menggelengkan kepala dan terus berlari dalam diam.
Merasa
cemas, Gwak Hwanso kembali mengejarnya dan meraih lengannya.
“Kalau
begitu setidaknya… tenaga dalamku…”
“Jangan
buang energimu.”
Geum
Yangbaek dengan tegas menarik tangannya dari genggaman Gwak Hwanso.
“Pemimpin
Sekte! Ini bukan waktunya untuk bersikeras! Jika terus seperti ini, kau mungkin
benar-benar…”
“Mati?”
“….”
“Itu yang
ingin kau katakan?”
Saat Gwak
Hwanso terdiam, Geum Yangbaek terkekeh pelan. Itu bukan tawa ejekan. Meskipun
sikapnya tetap teguh dan tenang, kehangatan di matanya jelas tertuju kepada
murid-muridnya dan Gwak Hwanso.
“Aku juga
tahu betapa berharganya hidup. Jika dengan dipanggul aku bisa selamat, aku
sudah melakukannya sejak tadi.”
Geum
Yangbaek berbicara di antara napasnya yang terengah-engah. Namun suaranya tetap
tegar, membuat Gwak Hwanso menggigit bibirnya.
“Tapi jika
itu tidak mungkin, tidak ada gunanya kalian membuang tenaga untukku. Kita
bahkan belum sampai di Gangbuk.”
“Tolong
jangan katakan hal seperti itu! Kenapa Pemimpin Sekte harus mati! Selama para
murid masih hidup dan baik-baik saja, bukankah Pemimpin Sekte juga seharusnya
hidup! Bukankah Pemimpin Sekte harus merebut kembali pijakan Hainan di
Gangbuk!”
Meskipun
suara Gwak Hwanso bergetar dengan emosi, Geum Yangbaek hanya tersenyum dan
tidak merespons.
Gwak Hwanso
tahu betul betapa sia-sianya kata-katanya.
“Hwanso-ya.”
“Ya, Pemimpin
Sekte.”
“Aku
bersyukur memiliki dirimu.”
Bahu Gwak
Hwanso bergetar sedikit. Geum Yangbaek, yang terbatuk, menoleh untuk melihatnya.
Wajahnya begitu pucat hingga hampir membiru.
“Jika kau
tidak ada di sini, aku pasti tidak akan bisa memejamkan mata bahkan dalam
kematian. Tapi… dengan kau di sini, kematian tidak terasa begitu menakutkan.
Haha.”
“Pemimpin
Sekte…”
Tawa getir
lolos dari bibir Geum Yangbaek.
Ini adalah
perjalanan menuju kematian. Dalam situasi tanpa jalan keluar, ia menganggap
bahwa tarian terakhir atau permainan pedang terakhir mungkin cukup. Ia
melihatnya sebagai tugas terakhir yang tersisa baginya sebagai Pemimpin Sekte Hainan.
Namun mereka
masih hidup. Dan mungkin, mereka bahkan bisa membawa nama Hainan melampaui
sungai itu.
Jadi
sekarang, apa alasan untuk takut mati?
Geum
Yangbaek menatap Gwak Hwanso. Apakah aneh jika seseorang mengatakan bahwa Gwak
Hwanso, yang berusaha keras menahan air mata yang hampir tumpah, adalah
seseorang yang dapat dipercaya?
‘Kau telah
banyak berubah.’
Gwak Hwanso
tak lagi tampak kurang percaya diri. Meskipun masih muda untuk menjadi Pemimpin
Sekte Hainan, ia pasti akan menjalankan tugasnya. Bahkan, mungkin ia akan lebih
dari sekadar berhasil.
Jadi…
Namun, Geum
Yangbaek dengan paksa menelan darah yang naik ke tenggorokannya.
‘Tapi ini
belum waktunya.’
Mereka belum
mencapai tempat yang aman. Masih ada gunung yang harus mereka lewati.
Satu-satunya alasan ia tetap bertahan dalam hidup yang hampir terputus ini
adalah karena nyawanya masih memiliki tujuan—untuk saat ini.
Jika saja ia
bisa mengirim mereka ke Gangbuk.
Dan jika
para muridnya bertahan dan mampu menghidupkan kembali nama Hainan, maka ia akan
bisa tersenyum tanpa penyesalan di saat kematiannya.
‘Sekarang
aku mengerti.’
Ia menatap
simbol “tiga gelombang” [samparang, 삼파랑(三波浪)] yang terukir di dadanya. Lalu, ia
menghentakkan kakinya dengan sekuat tenaga. [note: logo sekte Hainan]
“Kumpulkan
kekuatan terakhir kalian! Kita hanya perlu menyeberangi sungai itu!”
“Ya, Pemimpin
Sekte!”
Saat
mendengar jawaban penuh air mata dari para muridnya, Geum Yangbaek tersenyum.
‘Ada hal-hal
yang lebih penting daripada hidup itu sendiri.’
Dan hal itu
ada tepat di sisinya sekarang. Begitu kokoh dan teguh.
❀ ❀ ❀
Kalau ada yang mau donasi, bisa ke trakteer ya! Disana juga update chapternya udah lumayan jauh, menuju 1500+
- Trakteer
Comments
Post a Comment